Tangerang, 25 Agustus 2025 – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menegaskan pentingnya transparansi, kepatuhan administratif, serta konsistensi strategi bagi industri tekstil nasional, khususnya pada sektor hulu di bawah naungan Asosiasi Produsen Benang Serat dan Filamen Indonesia (APSyFI).
Berdasarkan data Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas), kepatuhan pelaporan anggota APSyFI masih rendah. Dari total 20 perusahaan, hanya 15 yang melaporkan aktivitas industrinya, sementara 5 perusahaan tercatat absen.
Baca juga: Pameran Homedec 2025 Tawarkan Inspirasi Desain Rumah Modern
“Masih ada perusahaan besar anggota APSyFI yang tidak melaporkan kinerjanya sama sekali. Padahal, kewajiban pelaporan ini adalah bentuk akuntabilitas industri kepada negara. Minimnya komitmen administratif justru melemahkan posisi asosiasi yang mengklaim sebagai garda depan tekstil nasional,” ujar Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief, di Jakarta, Sabtu (23/8).
Febri menjelaskan adanya anomali pada data industri tekstil hulu. Di tengah desakan APSyFI agar pemerintah memperketat impor, justru terjadi lonjakan signifikan impor oleh anggotanya sendiri.
Data mencatat, volume impor benang dan kain oleh anggota APSyFI naik 239% dalam setahun, dari 14,07 juta kilogram (2024) menjadi 47,88 juta kilogram (2025).
“Ada anggota APSyFI yang memanfaatkan fasilitas kawasan berikat maupun API Umum sehingga bebas melakukan impor besar-besaran. Di satu sisi, mereka menuntut proteksi, namun di sisi lain aktif menjadi importir. Ini kontradiktif dengan semangat kemandirian industri,” jelasnya.
Selama ini, pemerintah telah memberikan berbagai bentuk perlindungan fiskal bagi industri hulu tekstil, seperti:
-
Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) Polyester Staple Fiber (PSF) sejak 2010 hingga 2027,
-
BMAD Spin Drawn Yarn (SDY) hingga 2025,
-
Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) Benang dari serat sintetis hingga 2026,
-
serta BMTP Kain hingga 2027.
“Artinya, anggota APSyFI sudah menikmati keuntungan ganda, yaitu proteksi tarif sekaligus fasilitas impor. Sayangnya, hal ini belum diimbangi dengan investasi baru atau modernisasi teknologi,” tambah Febri.
Kemenperin menegaskan, kebijakan proteksi dan rekomendasi impor didasarkan pada keadilan antara sektor hulu, intermediate, dan hilir. Jika usulan BMAD dengan tarif 45% diterapkan sesuai hitungan KADI, risikonya bisa mencapai PHK 40.000 pekerja di industri hilir.
“Ini akan menjadi tragedi nasional. Sementara potensi PHK di sektor hulu yang lebih kecil masih bisa dimitigasi melalui optimalisasi serapan lokal,” tegas Febri.
Baca juga: Kolaborasi Pemerintah dan Sampoerna Perkuat UMKM Nasional
Meski menghadapi tantangan, sektor tekstil nasional pada kuartal I dan II 2025 tetap tumbuh di atas 4 persen. Menurut Kemenperin, capaian ini harus dijaga dengan kolaborasi, transparansi, dan kepatuhan seluruh pelaku industri.
“Kemenperin berharap asosiasi industri dapat melihat kebijakan pemerintah secara objektif. Justru di tengah pertumbuhan ini, yang dibutuhkan adalah kolaborasi dan kepatuhan, bukan narasi yang menyesatkan publik,” pungkas Febri.