Digitalisasi Bukan Tren, Tapi Kebutuhan Mutlak Bagi Dunia Usaha

Tangerang, 16 April 2025 – Perubahan teknologi digital bukan lagi sekadar tren sementara, melainkan gelombang besar yang menggulung banyak sektor bisnis dari skala kecil hingga besar. Kemunculan kecerdasan buatan, big data, hingga platform e-commerce telah mengubah wajah persaingan secara drastis. Dalam era ini, dunia usaha hanya punya dua pilihan: beradaptasi atau tersingkir dari peta persaingan.

Sayangnya, hingga kini masih banyak pelaku usaha yang menganggap digitalisasi sebatas tren gaya-gayaan, bukan sebagai kebutuhan utama. Mereka tetap bertahan dengan pola konvensional, berharap badai digital ini segera berlalu. Namun sejarah membuktikan: pasar tidak pernah menunggu. Siapa yang tidak bergerak, akan tertinggal.

Kisah sukses transformasi digital tidak hanya milik raksasa teknologi. UMKM seperti MS Glow dan Makuku berhasil tumbuh pesat berkat strategi pemasaran melalui marketplace dan media sosial. Tanpa menunggu pelatihan resmi, mereka belajar langsung dari pasar dan konsumen.

Sementara itu, perusahaan besar seperti Bank Jago dan Blue Bird berhasil membuktikan bahwa digitalisasi bisa menjadi penyelamat di tengah disrupsi. Blue Bird, yang sempat tertekan oleh kehadiran Gojek dan Grab, mampu bertahan dengan mengembangkan aplikasi sendiri dan menjalin kolaborasi strategis.

Namun, tak sedikit juga pelaku usaha yang hanya ikut-ikutan digital tanpa strategi matang. Sekadar membuat akun media sosial tidak otomatis mengubah bisnis menjadi digital. Transformasi digital sejati menuntut perubahan menyeluruh dari proses produksi, pemasaran, hingga layanan pelanggan.

Contoh nyata datang dari Pasar Tanah Abang, yang sempat kehilangan omzet hingga 50% akibat gempuran e-commerce dan produk impor murah. Namun perubahan justru datang saat para pedagang mulai aktif di TikTok, membuat konten promosi, dan memanfaatkan tren digital. Ini membuktikan bahwa adaptasi, meski terlambat, masih bisa menyelamatkan bisnis.

Digitalisasi memang bukan solusi instan. Tantangannya besar: keterbatasan SDM, minimnya infrastruktur digital, hingga belum maksimalnya kebijakan pemerintah. Namun, risiko menunda transformasi jauh lebih besar. Tanpa langkah konkret, bisnis bisa kehilangan relevansi dalam waktu singkat.

Pemerintah memang memiliki peran penting dalam mendukung ekosistem digital, namun kesuksesan transformasi tetap bergantung pada kesiapan pelaku usaha itu sendiri. Apakah mereka berani keluar dari zona nyaman dan menyusun ulang strategi bisnis mereka?

Kita hidup di era perubahan cepat di mana inovasi terjadi dalam hitungan bulan, bukan dekade. Ketika pesaing terus berinovasi, maka stagnasi menjadi keputusan paling berbahaya.

Transformasi digital bukan lagi soal “perlu atau tidak,” melainkan soal “siap atau tidak.” Jika bisnis belum bisa menjawab hari ini, mungkin esok mereka sudah tak relevan lagi.

Latest articles

spot_imgspot_img

Related articles

spot_img