Tangerang, 10 Januari 2025 – Konsep Pembangunan Berkelanjutan pertama kali dicetuskan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Rio+20 dengan tema “The Future We Want”. Indonesia kemudian mengadaptasi prinsip ini melalui Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs) yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP) 2005–2025. Rencana ini menekankan keseimbangan antara pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan, dengan harapan bahwa Indonesia dapat mencapai kemakmuran berkelanjutan pada masa depan.
Selain itu, Indonesia kini tengah menyusun RPJP 2025–2045 dengan visi Indonesia Emas 2045, yang direncanakan akan terus mengusung prinsip Pembangunan Berkelanjutan. Konsep ini tidak hanya mengutamakan kemajuan ekonomi, tetapi juga mengintegrasikan aspek perlindungan lingkungan dan pelestarian alam.
Baca juga: Tigaraksa Satria Perkenalkan ERP Cloud untuk Bisnis Berkelanjutan
Penerapan Ekonomi Hijau di Indonesia
Dalam implementasi Pembangunan Berkelanjutan, konsep Ekonomi Hijau menjadi salah satu solusi utama. Ekonomi Hijau, yang dipopulerkan oleh United Nations Environment Programme (UNEP), didefinisikan sebagai ekonomi rendah karbon, efisien dalam penggunaan sumber daya, dan inklusif secara sosial. Penerapan Ekonomi Hijau ini bertujuan untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan sembari menciptakan lapangan pekerjaan dan kemakmuran.
Namun, tantangan besar muncul ketika Indonesia, yang merupakan salah satu penghasil emisi karbon terbesar di dunia, berupaya mengurangi emisi dan memperkenalkan kebijakan yang mendukung transisi energi. Salah satu kebijakan yang diluncurkan adalah Nilai Ekonomi Karbon (NEK), yang mengatur perdagangan karbon dan mekanisme pengelolaan karbon lainnya. Kebijakan ini diatur melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri LHK Nomor 21 Tahun 2022, dengan tujuan untuk mengendalikan perubahan iklim dan memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat.
Baca juga: Pentingnya Digitalisasi untuk UMKM di HUT Dekranas
Tantangan Penerapan NEK pada Industri Hulu Migas
Industri Hulu Minyak dan Gas Bumi (Hulu Migas) di Indonesia menjadi salah satu sektor yang menghadapi tantangan besar dalam menerapkan prinsip Pembangunan Berkelanjutan. Sebagai sektor yang memiliki risiko tinggi terhadap lingkungan, industri ini harus mengadopsi teknologi ramah lingkungan dan kebijakan yang berfokus pada pengurangan emisi karbon, salah satunya melalui teknologi Carbon Capture and Storage (CCS). Penerapan teknologi ini diatur dalam Perpres Nomor 14 Tahun 2024 dan Permen ESDM Nomor 2 Tahun 2023.
Industri Hulu Migas juga harus menghadapi berbagai tantangan lainnya, seperti regulasi yang semakin ketat terkait perlindungan lingkungan, perubahan model bisnis menuju energi terbarukan, serta pembiayaan yang lebih difokuskan pada sektor yang mendukung kelestarian lingkungan. Salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana perusahaan-perusahaan migas dapat mengelola pembiayaan operasional dan investasi sambil memenuhi standar lingkungan yang tinggi.
Strategi Bisnis Berkelanjutan untuk Industri Hulu Migas
Untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut, industri Hulu Migas perlu merumuskan langkah-langkah strategis guna memastikan bahwa kegiatan operasionalnya tetap berkelanjutan. Hal ini mencakup pengembangan teknologi baru, pengelolaan sumber daya yang efisien, serta diversifikasi portofolio energi. Industri ini juga harus memperhatikan aspek sosial dan lingkungan yang lebih luas, serta beradaptasi dengan tren transisi energi menuju energi baru terbarukan (EBT).
Selain itu, tantangan pembiayaan dan regulasi yang ketat memerlukan pendekatan yang lebih fleksibel dan adaptif. Pemerintah dan pelaku usaha perlu bekerja sama untuk menyusun kebijakan yang memfasilitasi keberlanjutan industri, termasuk membentuk kelembagaan yang otonom untuk memfasilitasi pengelolaan dan penerapan NEK dengan transparansi yang tinggi.
Kesimpulan
Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia, khususnya dalam sektor Industri Hulu Migas, menghadapi berbagai tantangan besar. Namun, dengan komitmen terhadap kebijakan Nilai Ekonomi Karbon dan penerapan teknologi ramah lingkungan seperti CCS, Indonesia dapat mewujudkan transisi energi yang berkelanjutan. Keterlibatan semua pihak, termasuk pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat, sangat penting untuk mencapai tujuan Indonesia Emas 2045, di mana keadilan sosial dan keberlanjutan energi menjadi bagian integral dari pembangunan nasional.