Tangerang, 24 Maret 2025 – Industri properti di Indonesia terus berkembang dengan fokus pada keberlanjutan lingkungan. Sektor ini dikenal sebagai penyumbang 40% emisi karbon global, sehingga penerapan prinsip keberlanjutan menjadi hal yang mendesak. Sebagai bagian dari komitmennya untuk mencapai emisi nol bersih pada 2060, Indonesia perlu mendorong adopsi praktik bangunan ramah lingkungan atau green building. Generasi Milenial dan Gen Z Dorong Pertumbuhan Properti Hijau.
Menurut Rahmat Daresa Alam, Head of Project Management Colliers Indonesia, integrasi keberlanjutan dalam sektor properti tidak lagi menjadi pilihan, melainkan kebutuhan yang mendesak. Hal ini terkait dengan peningkatan kesadaran pasar yang menginginkan hunian ramah lingkungan, serta kebijakan pemerintah yang mendorong pembangunan berkelanjutan. Ia menambahkan, pengembang harus memperhatikan regulasi sejak tahap perencanaan proyek hingga operasional, agar dapat mengoptimalkan dampak positif terhadap lingkungan. Generasi Milenial dan Gen Z Dorong Pertumbuhan Properti Hijau
Baca juga: Pemerintah Probolinggo Dukung Program Strive Indonesia untuk UMKM
Peluang dan Permintaan Pasar untuk Properti Hijau
Peningkatan kesadaran generasi muda, seperti Gen Z dan milenial, mengenai pentingnya keberlanjutan lingkungan juga mempengaruhi pasar properti. Laporan dari Deloitte menunjukkan bahwa kelompok ini lebih cenderung memilih produk properti yang mengusung keberlanjutan, meskipun dengan harga yang sedikit lebih tinggi. Properti dengan fitur ramah lingkungan seperti efisiensi energi, pengelolaan air, dan bahan bangunan terbarukan cenderung lebih diminati dan terjual dengan harga lebih tinggi.
Rahmat juga menyoroti pentingnya sertifikasi hijau bagi gedung-gedung perkantoran di Jabodetabek. Gedung dengan sertifikasi ramah lingkungan seperti LEED atau Green Building Council Indonesia (GBCI) memiliki daya tarik lebih tinggi, terutama bagi penyewa perusahaan multinasional. Namun, di sektor residensial dan ritel komersial, distribusi sertifikasi hijau masih terbatas, meskipun hal ini menjadi peluang besar bagi pengembang untuk mengadopsi praktik desain berkelanjutan.
Baca juga: Bank DKI Raih Top Digital Corporate Brand Award 2025
Peran Pemerintah dan Insentif Pajak
Tantangan terbesar dalam pengembangan properti hijau adalah biaya konstruksi yang lebih tinggi, sekitar 3% hingga 4% lebih mahal dibandingkan dengan bangunan konvensional. Namun, efisiensi energi yang dihasilkan dalam jangka panjang dapat mengimbangi biaya tambahan tersebut. Ignesjz Kemalawarta, Komite Tetap Riset Badan Pengembangan Kawasan Properti Terpadu (BPKPT) Kadin Indonesia, menekankan pentingnya insentif dari pemerintah untuk mendorong pengembangan bangunan hijau.
Pemberian insentif pajak atau fasilitas lainnya dapat menjadi pendorong bagi pengembang untuk lebih memilih konstruksi yang ramah lingkungan. Insentif tersebut bisa berupa pengurangan pajak atau kompensasi biaya konstruksi yang lebih tinggi pada awalnya. Hal ini akan membuka peluang bagi semakin banyak proyek properti untuk mendapatkan sertifikasi hijau.
Kesimpulan
Di tengah perubahan iklim dan pemanasan global, pengembangan properti yang ramah lingkungan menjadi pilihan strategis yang tidak hanya bermanfaat bagi lingkungan, tetapi juga memberikan nilai tambah secara ekonomi. Penerapan konsep green building dapat meningkatkan efisiensi operasional dan daya tarik pasar, terutama di kalangan penyewa dan pembeli yang peduli terhadap keberlanjutan. Oleh karena itu, penting bagi pengembang untuk mengintegrasikan prinsip keberlanjutan dalam setiap proyek, serta mendapatkan dukungan dari pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya untuk mencapai target emisi nol bersih pada 2060.