Tangerang 24 Januari 2025 – Pemerintahan Prabowo-Gibran terus berupaya mendorong program hilirisasi nikel sebagai bagian dari upaya mencapai target pertumbuhan ekonomi delapan persen, yang tercantum dalam Asta Cita. Salah satu bukti keseriusan pemerintah adalah pembentukan Satuan Tugas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional. Kebijakan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional, dengan meningkatkan pendapatan ekonomi sebesar 21,2 hingga 21,6 persen dan menciptakan hingga 13,83 juta lapangan pekerjaan dalam sepuluh tahun terakhir.
Namun, meskipun terdapat klaim positif mengenai hilirisasi nikel, studi dari Koaksi Indonesia menunjukkan adanya kesenjangan yang cukup signifikan dalam implementasinya. Manajer Riset Koaksi Indonesia, Ridwan Arif, menyoroti beberapa aspek penting yang belum terpenuhi dalam konsep Green Jobs dalam hilirisasi nikel. Menurut Ridwan, sektor ini masih menghadapi sejumlah tantangan, termasuk lemahnya perlindungan terhadap pekerja, dampak sosial yang merugikan masyarakat, dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh praktik industri.
Baca juga: UMKM Blitar Mulai Ekspor Kendang ke China
“Ternyata, masih panjang konteks pekerjaan hijau dalam hilirisasi. Misalnya, lemahnya perlindungan pekerja, dampak sosial kepada masyarakat, dan praktiknya yang masih banyak menimbulkan kerusakan lingkungan,” ujar Ridwan dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 23 Januari 2025.
Untuk itu, agar hilirisasi nikel dapat dikatakan benar-benar berkelanjutan, industri pengolahan nikel harus memenuhi prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) dengan fokus pada dekarbonisasi industri dan praktik yang lebih bertanggung jawab. Menurut Deputi Direktur Industri Hijau Kementerian Perindustrian, Taufik Achmad, smelter nikel berperan penting dalam transisi energi, namun proses produksinya harus mengadopsi teknologi yang ramah lingkungan agar dapat mendukung upaya dekarbonisasi.
Baca juga: UMKM Desa Kalang Siap Hadapi Era Digital dengan Pemasaran Online
Selain itu, keberadaan smelter nikel juga berpotensi menciptakan Green Jobs yang tidak hanya terbatas pada sektor smelter itu sendiri. Reza Rahmaditio dari WRI Indonesia menjelaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan energi terbarukan (EBT) di smelter, akan diperlukan manufaktur yang berkaitan dengan teknologi hijau, seperti panel surya dan turbin angin, yang dapat membuka lapangan kerja baru.
Namun, hilirisasi nikel menghadapi berbagai tantangan, salah satunya adalah belum adanya regulasi yang jelas mengenai ESG untuk sektor minerba, terutama dalam menghadapi standar keberlanjutan yang diterapkan oleh negara-negara seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa. Meidy Katrin Lengkey, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), mengungkapkan bahwa paspor baterai yang dibutuhkan untuk menembus pasar Eropa, salah satunya mencakup kepatuhan terhadap ESG, namun regulasi tersebut belum tersedia.
Lebih lanjut, Meidy juga menyoroti tantangan terkait dengan pengelolaan 300 tambang nikel yang tersebar di kepulauan Indonesia. Meskipun hilirisasi memberikan peluang pekerjaan baru, masih ada kebutuhan mendesak akan pelatihan yang memadai dan fasilitas yang layak bagi para pekerja tambang.
Di sisi lain, Elly Rosita Silaban, Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia, menegaskan bahwa pemerintah perlu lebih memperhatikan kesejahteraan pekerja dalam kebijakan hilirisasi nikel dan transisi energi. Selain itu, ia menekankan pentingnya memastikan bahwa pekerja telah memahami isu Green Jobs serta mempersiapkan infrastruktur dan keterampilan yang diperlukan.
Dalam menghadapi tantangan ini, kolaborasi antara pemerintah, industri tambang nikel, dan masyarakat sipil menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa hilirisasi nikel dapat memberikan manfaat jangka panjang bagi perekonomian Indonesia, sekaligus menjaga keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan sosial.