Tangerang, 06 November 2024 – Dalam upaya Indonesia mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) 2030, sektor otomotif menjadi salah satu fokus utama untuk mengurangi emisi karbon, mengingat kontribusinya yang cukup besar terhadap produksi CO2. Seiring dengan berkembangnya kendaraan listrik (electric vehicle/EV) sebagai solusi utama, ada pandangan berbeda yang disampaikan oleh Cyrillus Harinowo dalam bukunya “Multi-pathway for Car Electrification”.
Cyrillus menilai bahwa meskipun kendaraan listrik menawarkan solusi ramah lingkungan karena tidak menghasilkan emisi langsung, namun pengisian daya baterai EV masih bergantung pada sumber energi yang mayoritas berasal dari bahan bakar fosil, seperti batu bara. Di Indonesia, sekitar 80 persen energi untuk pengisian baterai EV berasal dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Oleh karena itu, meskipun kendaraan listrik lebih ramah lingkungan, proses pengisiannya tetap menghasilkan emisi karbon.
Baca juga: UKM Bisa Ekspor: Solusi Kemendag untuk Tingkatkan Ekspor
Mengingat kondisi Indonesia yang berbeda dengan negara maju, terutama dalam hal pendapatan per kapita, Cyrillus menyarankan agar pendekatan yang lebih beragam dan tidak hanya terpaku pada kendaraan listrik saja. Dia mengusulkan solusi lain seperti kendaraan hibrida (hybrid electric vehicles/HEV) dan kendaraan hibrida plug-in (plug-in hybrid vehicles/PHEV), yang dapat mengurangi emisi tanpa bergantung sepenuhnya pada infrastruktur pengisian baterai yang masih terbatas.
Selain itu, Cyrillus juga menekankan pentingnya penggunaan biofuel, seperti bioetanol, yang sudah terbukti efektif di negara-negara seperti Brasil. Teknologi ini diharapkan bisa mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap bahan bakar fosil. “Untuk mencapai NDC 2030, Indonesia harus mempertimbangkan berbagai solusi, bukan hanya kendaraan listrik. Mengingat tantangan infrastruktur dan ketergantungan pada energi fosil, solusi seperti kendaraan hybrid dan biofuel perlu diprioritaskan,” ujar Cyrillus.
Lebih jauh, pasar mobil listrik secara global, termasuk di Indonesia, masih terbatas. Hal ini menunjukkan bahwa kendaraan listrik belum sepenuhnya diterima di pasar, sehingga peralihan industri otomotif di Indonesia sebaiknya dilakukan secara bertahap. Data penjualan mobil di Amerika pada 2023 bahkan menunjukkan lonjakan signifikan terhadap mobil hybrid, yang mengindikasikan pergeseran preferensi konsumen menuju kendaraan yang lebih efisien dan ramah lingkungan.
Baca juga: Kemenperin Bantu IKM Raih Sertifikasi TKDN Gratis
Cyrillus pun mengakui bahwa dirinya sempat beranggapan bahwa hanya mobil listrik yang dapat menjadi solusi emisi karbon, namun akhirnya dia menyadari bahwa teknologi otomotif ramah lingkungan tidak hanya terbatas pada mobil listrik saja. Menurutnya, kendaraan seperti LCGC, mobil hybrid, dan mobil berbahan bakar fleksibel (flexy) juga bisa menjadi pilihan yang ramah lingkungan.
“Mobil non-listrik yang ramah lingkungan masih menjadi pilihan yang lebih tepat untuk pencapaian NDC 2030, karena bisa 50 persen carbon free. Gagasan ini mungkin bertentangan dengan tren, tapi inilah solusi yang perlu dipertimbangkan,” tutup Cyrillus.
Indonesia perlu mengedepankan solusi beragam dalam mendekarbonisasi sektor otomotif guna memenuhi target NDC 2030 yang semakin dekat. Pengembangan kendaraan hybrid, penggunaan biofuel, dan peningkatan efisiensi energi menjadi langkah-langkah strategis yang harus diprioritaskan.