Tangerang, 08 Mei 2025 – Bank Indonesia (BI) menyoroti masih rendahnya partisipasi perempuan dalam sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia. Padahal, perempuan dinilai memiliki peran strategis dalam penguatan ekonomi nasional. Melalui acara Sis Berdaya yang digelar di Jakarta pada Rabu (7/5/2025), BI mendorong sinergi lintas sektor untuk meningkatkan pemberdayaan ekonomi perempuan berbasis digital.
Sri Noerhidajati, Deputi Direktur Departemen Ekonomi Keuangan Inklusif dan Hijau BI, menyebutkan bahwa berdasarkan data UN Women, pada tahun 2022 hanya sekitar 10% perempuan yang terlibat dalam kegiatan ekonomi atau memulai usaha baru. Angka ini masih sekitar 80% dari partisipasi laki-laki. Selain itu, tingkat keberlanjutan usaha yang dikelola perempuan hanya 5,5%, jauh di bawah laki-laki yang mencapai 8,1%.
Baca juga: Transformasi Digital, Lamongan Mulai Pengadaan Barang Pemerintah Lewat Toko Daring
“Ini menunjukkan bahwa semakin lama perempuan menjalani usaha, tantangan yang dihadapi pun semakin besar, mulai dari akses pendanaan, jaringan bisnis, hingga pemanfaatan teknologi,” ujar Sri.
Lebih lanjut, Sri mengungkapkan bahwa peningkatan partisipasi perempuan dalam ekonomi global berpotensi menambah nilai ekonomi dunia hingga US$7 triliun. Oleh karena itu, BI menekankan pentingnya digitalisasi UMKM sebagai solusi strategis.
“Digitalisasi adalah kunci transformasi UMKM agar lebih kompetitif dan tangguh. Pemasaran digital dan sistem pembayaran elektronik seperti QRIS menjadi alat penting untuk memperluas pasar dan meningkatkan efisiensi,” jelasnya.
Baca juga: Inabuyer Expo 2025 Perkuat Kolaborasi Ritel dan UMKM
Per Maret 2025, pengguna QRIS di Indonesia telah mencapai 56,3 juta, dengan volume transaksi hingga 2,6 miliar. Sebanyak 38,1 juta di antaranya merupakan pelaku UMKM. Data digital ini dinilai penting untuk membangun track record keuangan yang bisa digunakan sebagai dasar pengajuan kredit kepada perbankan.
Meski begitu, pertumbuhan kredit UMKM justru menunjukkan perlambatan. BI mencatat pertumbuhan kredit hanya sebesar 1,95% secara tahunan (yoy) pada Maret 2025, jauh di bawah masa pandemi yang mencapai 10%. BI pun terus mengkaji penyebabnya melalui diskusi kelompok terarah (FGD) bersama pelaku UMKM.
“Kami sedang mencari solusi apakah UMKM saat ini tidak butuh kredit, atau ada masalah permintaan pasar karena kondisi makro yang belum pulih,” ujar Sri.
Namun, tidak semua UMKM mengalami tekanan. Beberapa tetap tumbuh tanpa dukungan pembiayaan perbankan, seperti pelaku usaha konveksi di Bandung yang memanfaatkan jaringan e-commerce dan solidaritas komunitas untuk mengembangkan bisnisnya.
BI menegaskan komitmennya untuk terus mendukung UMKM, khususnya perempuan, melalui kebijakan inklusif, penguatan literasi keuangan, dan infrastruktur ekonomi digital yang memadai. “Kami ingin menciptakan lingkungan usaha yang sehat, adil, dan berkelanjutan untuk menjadikan UMKM sebagai motor penggerak ekonomi nasional,” tutup Sri.