Tangerang, 10 April 2025 – Ketika strategi transisi energi Indonesia menghadapi tantangan eksternal yang tidak terduga, dampak kebijakan tarif impor yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, semakin memperburuk keadaan. Kebijakan tarif impor resiprokal yang tinggi memaksa Indonesia untuk mencari cara baru dalam mempertahankan keberlanjutan ekosistem ekonomi hijau, di tengah ketergantungan yang masih besar pada energi fosil.
Salah satu langkah yang diambil oleh pemerintah Indonesia adalah peningkatan impor liquefied petroleum gas (LPG) dan liquefied natural gas (LNG) dari Amerika Serikat. Kebijakan ini merupakan respons langsung terhadap tarif impor timbal balik yang diterapkan oleh Trump, yang mencapai 32% bagi produk-produk Indonesia. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menjelaskan bahwa pendekatan negosiasi dipilih daripada mengambil langkah pembalasan. Hal ini bertujuan agar defisit neraca perdagangan Indonesia terhadap AS dapat berkurang, sehingga mempengaruhi kebijakan tarif Trump untuk lebih longgar.
Baca juga: CNAF Optimis Kendaraan Listrik akan Tumbuh Pesat di Indonesia Berkat Dukungan Pembiayaan
Namun, langkah ini tidak tanpa risiko. Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira Adhinegara memperingatkan tentang potensi kenaikan harga impor, terutama dari segi logistik, yang dapat berdampak pada stabilitas ekonomi domestik. “Risiko harga tinggi dari impor LPG dan LNG dari sana harus diperhitungkan,” ujarnya.
Selain itu, pemerintah Indonesia juga meluncurkan paket stimulus untuk mendukung transisi energi, salah satunya dengan memperkenalkan insentif bagi kendaraan listrik (EV). Stimulus berupa pengurangan pajak, seperti PPN DTP EV dan PPnBM DTP untuk mobil hybrid, bertujuan untuk mendorong pasar kendaraan listrik dalam negeri. Paket stimulus ini diharapkan dapat menjaga daya beli masyarakat dan tetap mendorong ekonomi hijau meski ada tekanan eksternal dari kebijakan Trump.
Baca juga: Yogyakarta Transformasi Ekonomi Berbasis Budaya dan Digital
Namun, dampak kebijakan tersebut tak hanya terbatas pada sektor energi. Penurunan harga minyak dunia yang dipicu oleh ketegangan perdagangan antara AS dan China turut memengaruhi ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil. Harga minyak dunia yang merosot drastis, ditambah dengan harga batu bara yang semakin murah, membuka peluang bagi penggunaan energi fosil yang lebih besar. Bhima menegaskan bahwa hal ini berpotensi memperburuk struktur ekonomi Indonesia jika ketergantungan pada energi fosil terus dibiarkan.
Di sisi lain, pemerintah Indonesia harus bijak dalam menjaga transisi energi agar tidak mengorbankan pembangunan jangka panjang. Bhima juga menyoroti pentingnya kebijakan yang mendukung energi terbarukan, yang tidak hanya bergantung pada energi fosil, tetapi juga berfokus pada keberlanjutan ekonomi. “Kalau bergantung terus dengan kondisi seperti ini, harga turun [komoditas] diserap dalam negeri, struktur ekonomi kita rapuh,” jelasnya.
Tantangan ini menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk lebih serius mendorong transisi ke energi hijau, yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan, untuk menciptakan perekonomian yang lebih stabil dan tidak mudah terpengaruh oleh dinamika global.