Tangerang, 27 Desember 2024 – Industri keramik Indonesia menghadapi sejumlah tantangan berat sepanjang tahun 2024, yang menghambat kinerja dan menurunkan tingkat utilisasi kapasitas produksi. Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) mencatat, sektor ini mengalami penurunan daya beli masyarakat, lonjakan impor produk keramik dari China dan India, serta gangguan suplai gas dari PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN). Semua faktor ini berdampak signifikan terhadap kelangsungan bisnis industri keramik dalam negeri.
Ketua Umum Asaki, Edy Suyanto, menjelaskan bahwa tingkat utilisasi kapasitas produksi industri keramik Indonesia turun menjadi sekitar 66% pada 2024. Angka ini menurun dari 69% pada 2023 dan jauh lebih rendah dibandingkan 2022 yang mencatatkan utilisasi sebesar 78%. Penurunan ini sebagian besar disebabkan oleh serbuan keramik impor yang harganya lebih murah, serta gangguan suplai gas yang menjadi salah satu faktor penting dalam proses produksi.
Baca juga: OJK Turunkan Bunga Pinjol, Peluang Besar atau Risiko Baru?
Namun, Asaki mencatat adanya beberapa kebijakan pemerintah yang dapat membantu menjaga kestabilan industri. Pemberlakuan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) untuk produk keramik impor asal China dan kewajiban Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk keramik pada Oktober lalu, membantu menahan dampak negatif dari impor. Meski demikian, Asaki menegaskan pentingnya perpanjangan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) atas keramik impor yang masa berlakunya habis pada November lalu, sebuah langkah yang belum terealisasi hingga saat ini.
Meskipun demikian, Asaki optimis bahwa prospek industri keramik pada 2025 akan mengalami pemulihan. Proyeksi Asaki menunjukkan utilisasi produksi bisa kembali naik ke kisaran 75% hingga 80%, mendekati capaian pada 2022. Harapan ini didorong oleh rencana pemerintah untuk membangun 3 juta rumah pada 2025, yang diperkirakan akan menciptakan permintaan keramik sekitar 100 juta hingga 110 juta meter persegi. Jika tercapai, ini akan meningkatkan utilisasi produksi sekitar 15%.
Namun, tantangan lain masih menghadang. Rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% dan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 6,5% pada 2025 dapat mempengaruhi daya saing industri keramik. Selain itu, masalah suplai gas oleh PGN yang belum teratasi, serta harga gas bumi yang mahal, turut menambah beban bagi produsen. Gas bumi, yang berkontribusi sekitar 30% terhadap biaya produksi, menjadi faktor penting yang sangat mempengaruhi daya saing produk keramik Indonesia di pasar global.
Baca juga: Hati-Hati! Tren Penipuan Baru di Sektor Keuangan Akhir Tahun
Asaki mendesak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk segera mencari solusi terkait gangguan suplai gas serta memperpanjang kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT). Selain itu, Asaki berharap pemerintah dapat mewujudkan kebijakan yang mendukung pelabuhan impor keramik di luar Pulau Jawa, guna meningkatkan efisiensi dan daya saing industri.
Dengan adanya kebijakan yang mendukung dan perbaikan pada sektor-sektor kritikal, Asaki optimis bahwa pada 2025, industri keramik Indonesia dapat bangkit dan mencapai utilisasi produksi yang lebih tinggi, yang pada akhirnya akan memberikan dampak positif pada pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan pekerjaan, serta kontribusi pajak negara.