Uniqlo dan Kontradiksi Keberlanjutan dalam Industri Fashion

Tangerang, 26 Desember 2024 – Dalam dunia bisnis saat ini, etika memainkan peran yang sangat penting, terutama bagi perusahaan-perusahaan besar yang ingin menjaga citra positif di mata publik. Salah satu contoh yang menarik perhatian adalah kampanye Uniqlo Sustainability: Unlocking the Power of Clothing yang digelar oleh brand pakaian ternama, Uniqlo. Kampanye ini menonjolkan komitmen perusahaan untuk keberlanjutan lingkungan, namun sejauh mana klaim tersebut mencerminkan praktik nyata di lapangan?

Uniqlo, yang beroperasi dalam industri fast fashion yang dikenal dengan produksi masal berbiaya rendah, kini mencoba memposisikan diri sebagai merek yang peduli terhadap lingkungan dan masyarakat. Dalam kampanye tersebut, mereka mengklaim bahwa produk-produk mereka diproduksi dengan ramah lingkungan, menghormati hak asasi manusia, dan berkontribusi positif terhadap masyarakat global. Kampanye ini memberi kesan bahwa Uniqlo telah mengambil langkah nyata untuk meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan pekerja di seluruh rantai pasokannya.

Baca juga: Energi Terbarukan dan Manufaktur Hijau Jadi Kunci Ekonomi Indonesia

Namun, meskipun klaim keberlanjutan ini terdengar menarik, Uniqlo tetap menghadapi kritik tajam terkait posisinya sebagai perusahaan fast fashion. Industri fast fashion, seperti yang diketahui, dikenal dengan model bisnis yang mengandalkan produksi masal dengan biaya rendah yang berkontribusi besar terhadap polusi, limbah tekstil, dan penggunaan bahan-bahan yang tidak ramah lingkungan. Penelitian menunjukkan bahwa meskipun Uniqlo berusaha memproduksi pakaian tahan lama dan berkualitas, model bisnis mereka yang mendorong konsumsi berlebihan justru memperburuk masalah lingkungan.

Selain itu, ada juga isu terkait eksploitasi pekerja. Kasus-kasus di pabrik-pabrik pemasok Uniqlo, seperti yang terjadi di Indonesia, di mana pekerja tidak menerima pesangon yang seharusnya dan adanya dugaan penggunaan tenaga kerja paksa di Xinjiang, China, semakin menambah keraguan terhadap komitmen sosial perusahaan ini. Meskipun Uniqlo menyatakan tidak bertanggung jawab atas insiden tersebut, banyak pihak yang berpendapat bahwa perusahaan besar seperti Uniqlo seharusnya lebih bertanggung jawab atas kondisi yang terjadi dalam rantai pasokannya.

Baca juga: BUMD Jakarta Diminta Fokus Digitalisasi untuk Kesehatan Perusahaan

Kontroversi ini memperburuk citra Uniqlo sebagai perusahaan yang berfokus pada keberlanjutan. Di satu sisi, mereka menunjukkan komitmen terhadap lingkungan melalui kampanye keberlanjutan, namun di sisi lain, praktik bisnis yang mereka jalankan, seperti produksi massal dan masalah hak pekerja, menunjukkan ketidaksesuaian dengan nilai-nilai yang mereka promosikan.

Salah satu isu utama yang muncul adalah praktik greenwashing, di mana perusahaan berusaha mencitrakan diri sebagai peduli lingkungan tanpa adanya perubahan signifikan dalam praktik operasional mereka. Meskipun Uniqlo telah memperkenalkan program seperti RE.Uniqlo, yang mengedepankan daur ulang dan keberlanjutan produk, pertanyaan besar tetap muncul mengenai sejauh mana mereka benar-benar berkomitmen pada keberlanjutan, mengingat mereka tetap beroperasi dalam model bisnis fast fashion yang berkontribusi pada polusi dan limbah tekstil.

Menurut data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), limbah tekstil menyumbang hampir 3% dari total sampah di Indonesia, sementara industri fast fashion menyumbang hampir 10% emisi karbon global. Selain itu, proses pewarnaan dan finishing kain di sektor ini berkontribusi pada 3% emisi CO2 global serta lebih dari 20% polusi air di dunia.

Ke depan, penting bagi konsumen untuk lebih kritis dalam menilai kampanye keberlanjutan dari perusahaan-perusahaan besar, termasuk Uniqlo. Meskipun langkah-langkah yang diambil dalam kampanye tersebut patut dihargai, tetap saja ada banyak tantangan yang harus dihadapi perusahaan-perusahaan seperti Uniqlo untuk benar-benar menciptakan dampak positif yang nyata bagi lingkungan dan kesejahteraan pekerja mereka. Sejauh mana mereka dapat menyelaraskan kata-kata dengan tindakan, hanya waktu yang akan membuktikan.

Latest articles

spot_imgspot_img

Related articles

spot_img