Tangerang, 24 Desember 2024 – Bisnis retail di Indonesia menghadapi tantangan besar sepanjang 2024, terutama dengan melemahnya daya beli masyarakat dan kenaikan suku bunga. Dampaknya dirasakan oleh berbagai perusahaan retail, termasuk PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (Alfamart), yang menutup sekitar 400 gerai tahun ini. Penutupan ini menjadi salah satu dampak dari tekanan ekonomi yang melanda sektor retail.
Menurut Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), pertumbuhan bisnis retail diproyeksikan menurun dari 5,3 persen pada 2023 menjadi 4,8 persen pada 2024. Salah satu faktor utama di balik penutupan gerai Alfamart adalah kenaikan tarif perpanjangan sewa yang melonjak drastis. Corporate Affairs Director Alfamart, Solihin, menjelaskan bahwa tarif sewa yang sebelumnya berkisar antara Rp40-50 juta per tahun pada 2019, kini mencapai Rp500 juta per tahun, atau naik hingga 10 kali lipat. “Karena kenaikan biaya sewa tidak sebanding dengan pendapatan, pemilik toko memutuskan untuk menutup gerai,” ujar Solihin kepada Tempo, Selasa (17/12/2024).
Baca juga: Begini Cara UMKM Bebas dari Utang di 2025
Namun, Solihin menegaskan bahwa penutupan gerai ini adalah bagian dari strategi untuk menjaga profitabilitas. Ia mengibaratkan langkah ini seperti operasi usus buntu: “Usus yang terinfeksi dipotong supaya bisa sehat.” Meski demikian, Alfamart tetap memiliki 884 gerai yang beroperasi, dan beberapa toko yang tutup telah dibuka kembali di lokasi strategis. Perusahaan juga tetap fokus berekspansi dengan menargetkan pembukaan 1.000 gerai baru di luar Pulau Jawa pada tahun ini.
Pelemahan daya beli masyarakat juga memberikan dampak signifikan pada sektor retail secara keseluruhan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal III 2024 melambat menjadi 4,91 persen, turun dari 4,93 persen pada kuartal sebelumnya dan 5,05 persen pada periode yang sama tahun lalu. Ketua Umum Aprindo, Solihin, menyoroti perubahan pola belanja masyarakat yang kini lebih memilih produk dengan harga terjangkau dan mengurangi jumlah pembelian barang.
Baca juga: Kenaikan PPN 12% dan Dampaknya Bagi Pekerja
Tidak semua jenis retail terkena dampak yang sama. Minimarket yang menjual kebutuhan pokok mampu bertahan lebih baik dibandingkan retail torseba (department store) yang menjual kebutuhan sekunder seperti pakaian, kosmetik, dan furniture. Menurut Aprindo, transaksi di retail torseba tahun ini diperkirakan turun lebih dari 30 persen. Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja, juga mencatat bahwa transaksi di pusat perbelanjaan atau mal turun 20-30 persen pada 2024, terutama di kalangan kelas menengah.
Selain itu, kebijakan pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 diperkirakan akan memperlambat pertumbuhan sektor retail, terutama jika diterapkan pada barang-barang yang banyak dikonsumsi masyarakat. Meski demikian, Head Customer Literacy and Education Kiwoon Sekuritas, Oktiavianus Andi, menilai sektor retail masih memiliki potensi tumbuh. Hal ini didukung oleh bonus demografi Indonesia, di mana jumlah konsumen muda yang meningkat akan menjadi peluang besar untuk mendorong sektor ini kembali bangkit.