Tangerang, 19 Desember 2024 – Digitalisasi telah menjadi kebutuhan utama di berbagai sektor, terutama dalam dunia e-commerce yang berkembang pesat, terutama sejak pandemi Covid-19. Meskipun digitalisasi membawa banyak peluang, sektor ini juga menghadapi berbagai tantangan yang perlu diatasi agar manfaatnya dapat dirasakan secara merata oleh semua pihak.
Usaha Kecil Mendominasi Sektor E-Commerce
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada periode 2020–2021, sebanyak 32,46% usaha telah beralih ke e-commerce. Hal ini sebagian besar dipicu oleh pembatasan sosial yang memaksa banyak pelaku usaha untuk beradaptasi dengan platform digital. Dalam sektor ini, lebih dari 50% tenaga kerja terlibat dalam perdagangan dan industri pengolahan, menjadikan e-commerce sebagai sektor yang menyerap tenaga kerja secara signifikan.
Baca juga: Transformasi Industri Hijau Indonesia Menuju Nol Emisi 2050
Pada tahun 2022, sektor e-commerce telah menyerap sekitar 10 juta tenaga kerja, atau sekitar 8,08% dari total penduduk yang bekerja. Toko daring skala kecil yang menjual produk seperti pakaian atau kerajinan lokal tidak hanya membuka peluang bagi pemiliknya, tetapi juga menciptakan lapangan pekerjaan di rantai pasokan, mulai dari pembuat produk hingga kurir pengiriman.
Namun, meski memberikan kontribusi besar terhadap pasar tenaga kerja, sektor e-commerce Indonesia masih didominasi oleh usaha mikro dan kecil. BPS mencatat bahwa 82,97% usaha e-commerce memiliki pendapatan kurang dari Rp300 juta per tahun, sedangkan 14,40% memiliki pendapatan antara Rp300 juta hingga Rp2,5 miliar. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun skala usaha ini relatif kecil, dampaknya terhadap pasar tenaga kerja cukup signifikan.
Baca juga: Mobil Listrik dan Baterai Dorong Transformasi Hijau Indonesia
Ketimpangan Akses Teknologi di Berbagai Wilayah
Sayangnya, tidak semua wilayah di Indonesia dapat merasakan manfaat digitalisasi secara merata. Berdasarkan data BPS, provinsi dengan persentase usaha e-commerce tertinggi adalah Banten (47,59%), DKI Jakarta (47,52%), dan DI Yogyakarta (44,73%). Di sisi lain, Sulawesi Barat dan Gorontalo mencatatkan persentase terendah, masing-masing 12,67% dan 12,80%. Ketimpangan ini sangat dipengaruhi oleh Indeks Pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi (IP-TIK), yang menunjukkan seberapa baik infrastruktur teknologi di suatu wilayah.
Wilayah dengan infrastruktur teknologi yang lebih baik, seperti DKI Jakarta, memiliki potensi lebih besar untuk memanfaatkan digitalisasi dalam menunjang aktivitas ekonomi. Pelaku usaha di Jakarta, misalnya, lebih mudah mengakses teknologi seperti aplikasi manajemen inventori atau iklan digital untuk menjangkau konsumen lebih luas. Sebaliknya, pelaku usaha di Sulawesi Barat mungkin mengalami kesulitan dalam mengakses internet yang berkualitas, sehingga mereka terhambat dalam memanfaatkan teknologi yang sama.
Pemerataan Infrastruktur Teknologi untuk Masa Depan E-Commerce
Pemerataan infrastruktur teknologi menjadi langkah krusial untuk mengatasi kesenjangan ini. Menteri UMKM, Maman Abdurrahman, mengungkapkan pentingnya adaptasi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) terhadap ekosistem digital untuk meningkatkan produktivitas mereka. Oleh karena itu, investasi dalam jaringan internet, pelatihan keterampilan digital, serta pendampingan usaha mikro dan kecil sangat diperlukan.
Program pelatihan pemasaran digital, baik yang didukung pemerintah maupun swasta, dapat mengajarkan pelaku usaha cara memanfaatkan media sosial untuk meningkatkan penjualan. Pendampingan yang tepat dapat membantu usaha mikro dan kecil untuk memperluas pasar dan meningkatkan pendapatan mereka.