Tangerang, 09 November 2024 – Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi Sukamdani, mengkritisi kebijakan pemerintah yang menetapkan sanksi bagi pelaku usaha yang tidak memenuhi kewajiban sertifikasi halal per 18 Oktober 2024. Menurut Hariyadi, kebijakan ini terkesan memaksakan, mengingat banyaknya kendala yang dihadapi pelaku usaha, terutama di sektor hotel dan restoran.
Dalam percakapan dengan Tempo pada Senin, 29 Oktober 2024, Hariyadi menyampaikan bahwa banyak pelaku usaha yang tidak siap untuk memenuhi kewajiban tersebut pada tanggal yang telah ditentukan. Ia menyoroti tingginya biaya sertifikasi halal yang mencapai angka puluhan juta rupiah, tergantung pada jenis usaha. Sebagai contoh, untuk usaha mikro dan kecil, biaya permohonan sertifikasi halal mencapai Rp300 ribu, sedangkan untuk usaha besar dapat menelan biaya hingga Rp12,5 juta. Selain itu, biaya perpanjangan sertifikasi juga bervariasi, mulai dari Rp200 ribu hingga Rp5 juta.
Baca juga: 130 UMKM Ikuti Pendampingan Perizinan, Siap Jadi Lebih Besar!
“Biaya yang tinggi ini seharusnya tidak dipaksakan untuk dijalankan oleh dunia usaha mengingat kondisi banyak usaha yang belum mampu memenuhi kewajiban ini,” ujar Hariyadi. Ia juga menambahkan bahwa kriteria untuk mendapatkan sertifikasi halal terbilang rumit dan memerlukan banyak penyesuaian, yang tentunya membebani pelaku usaha, terutama di sektor hotel dan restoran.
Selain itu, Hariyadi memberikan contoh, seperti penjualan minuman alkohol yang masih dilakukan oleh beberapa hotel, serta penggunaan bahan baku impor yang digunakan restoran, yang tidak mudah disesuaikan dengan persyaratan sertifikasi halal. Pembatasan menu dan bahan baku yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) juga dinilai dapat menghambat inovasi dalam bisnis kuliner.
Lebih jauh lagi, Hariyadi menjelaskan bahwa banyak hotel dan restoran yang menggandeng UMKM untuk pasokan makanan dan minuman. Namun, masalahnya adalah masih banyak UMKM yang belum memiliki sertifikat halal, yang menjadi kendala bagi hotel dan restoran dalam memenuhi persyaratan sertifikasi halal. Ia menyebutkan bahwa ekosistem yang menjadi rantai pasok makanan dan minuman ini belum sepenuhnya siap untuk memenuhi standar halal yang ditetapkan.
Hariyadi juga meminta pemerintah untuk mempertimbangkan banyaknya tenaga kerja yang bergantung pada industri hotel dan restoran, yang dapat terancam kehilangan pekerjaan jika sanksi tersebut diberlakukan. Ia mengingatkan bahwa kondisi ekonomi saat ini harus menjadi pertimbangan sebelum memaksakan pelaku usaha untuk mengeluarkan biaya besar demi memenuhi kewajiban sertifikasi halal.
Baca juga: Industri Migas Indonesia Bersiap Hadapi Era Energi Rendah Karbon
Sementara itu, Kepala BPJPH Haikal Hassan menyebutkan bahwa sanksi administratif, termasuk peringatan tertulis dan penarikan produk dari peredaran, dapat diterapkan bagi usaha yang tidak memiliki sertifikasi halal per 18 Oktober 2024. PHRI sendiri telah mengirimkan surat kepada Menteri Agama dan Kepala BPJPH pada 3 Oktober 2024 untuk menyatakan ketidaksiapan terhadap kebijakan tersebut.
Dengan adanya kebijakan ini, diharapkan pemerintah dapat lebih memperhatikan dampaknya terhadap pelaku usaha, terutama bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yang menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia. Sebagai langkah lanjutan, PHRI berharap adanya dialog antara pemerintah dan pelaku usaha untuk mencari solusi terbaik yang tidak membebani industri.