Tangerang, 03 Juli 2025 – Indeks Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia kembali menunjukkan pelemahan pada Juni 2025. Berdasarkan data terbaru, PMI Indonesia turun dari 47,4 pada Mei menjadi 46,9 pada Juni 2025, menandakan kontraksi aktivitas industri. Penurunan ini sejalan dengan tren di sejumlah negara ASEAN, termasuk Malaysia, Thailand, dan Vietnam yang juga mencatat pelemahan PMI.
Juru Bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arief, mengungkapkan bahwa pelemahan PMI disebabkan dua faktor utama, yakni sikap menunggu pelaku industri terhadap kebijakan deregulasi pro-bisnis, serta melemahnya permintaan di pasar ekspor dan domestik akibat menurunnya daya beli masyarakat.
Baca juga: Ekonomi Digital: Peluang Baru bagi UKM di Indonesia
Selama Juni, pelaku industri menanti kebijakan yang melindungi pasar domestik dari banjirnya produk impor murah. Salah satu yang ditunggu adalah revisi Permendag No. 8 Tahun 2024, terkait pencabutan relaksasi impor produk jadi. Revisi ini telah diumumkan pada 30 Juni 2025 dan diharapkan memberi dampak positif dalam dua bulan ke depan, terutama pada industri tekstil, pakaian jadi, dan aksesoris.
Selain itu, perusahaan juga menunggu kebijakan pembatasan pelabuhan masuk (entry port) produk impor untuk mempersempit jalur masuk barang murah yang menekan produk dalam negeri. Disamping itu, penandatanganan IEU-CEPA dengan Uni Eropa juga sangat ditunggu oleh pelaku industri berorientasi ekspor guna membuka pasar baru di Eropa.
“Pengusaha menanti implementasi kebijakan ini agar permintaan terhadap produk manufaktur lokal meningkat,” jelas Febri.
Faktor lain yang menekan PMI adalah pelemahan daya beli masyarakat, yang kini lebih memprioritaskan kebutuhan pokok dibanding produk manufaktur sekunder dan tersier. Kalangan menengah ke atas pun lebih memilih menabung atau berinvestasi ketimbang berbelanja konsumtif.
Permintaan ekspor pun melambat akibat dampak lanjutan dari perang dagang global. Hal ini membuat banyak produsen kembali mengandalkan pasar domestik, yang justru tengah dibanjiri produk impor, menciptakan persaingan yang tidak seimbang.
Meski begitu, sinyal positif mulai terlihat. Pemerintah telah mulai merealisasikan belanja infrastruktur dan konstruksi, memberi dampak langsung pada sektor keramik, baja, semen, dan kaca. Insentif seperti gaji ke-13 dan stimulus liburan sekolah juga memicu peningkatan permintaan pada industri makanan, minuman, dan tekstil.
Menurut Usamah Bhatti, Ekonom S&P Global Market Intelligence, kondisi manufaktur Indonesia pada pertengahan 2025 masih lemah karena rendahnya permintaan pasar. Hal ini mendorong pelaku industri mengurangi pembelian dan tenaga kerja.
“Keyakinan pelaku usaha terhadap output masa depan kini mencapai titik terendah dalam delapan bulan terakhir,” ungkap Bhatti.
Secara regional, negara seperti Vietnam (45,6), Malaysia (48,6), Thailand (49,5), dan Singapura (49,6) juga mengalami kontraksi PMI, menunjukkan tantangan manufaktur bersifat menyeluruh di Asia.
Meski menghadapi tantangan, pelaku industri masih menaruh harapan pada realisasi kebijakan pro-industri dari pemerintah dan pemulihan daya beli masyarakat dalam waktu dekat.