Tangerang, 24 September 2025 – Generasi Z yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012 sering disebut sebagai “digital natives”. Mereka tumbuh di tengah gempuran teknologi digital, media sosial, dan akses internet tanpa batas. Menurut laporan McKinsey (2023), lebih dari 70% Gen Z di Asia Tenggara menghabiskan lebih dari empat jam sehari di platform digital. Hal ini membentuk pola hidup yang berbeda dibandingkan generasi sebelumnya.
Baca juga: Menghadapi Tantangan Hidup di Era Digital: Antara Peluang dan Risiko
Budaya Komunikasi Instan
Kehidupan Gen Z konseptualisasi budaya komunikasi instan. Aplikasi pesan singkat, media sosial, hingga platform video pendek seperti TikTok telah menjadi ruang interaksi utama. Komunikasi tidak lagi sekedar berbasis teks, tetapi juga visual dan audio. Fenomena emoji, meme, dan video viral menunjukkan bagaimana ekspresi budaya digital berkembang pesat di kalangan Gen Z.
Pola Konsumsi yang Berubah
Digitalisasi juga mengubah cara Gen Z mengonsumsi produk dan layanan. Survei Deloitte (2024) mencatat bahwa 60% Gen Z lebih memilih belanja online dibandingkan toko fisik. Mereka tidak hanya mencari produk, tetapi juga pengalaman digital, mulai dari review influencer hingga promo berbasis algoritma. Hal ini mendorong perusahaan untuk beradaptasi dengan strategi pemasaran digital yang lebih personal.
Cara Kerja Fleksibel
Budaya kerja baru juga terbentuk. Generasi Z lebih menyukai kematian dan keseimbangan hidup. Data LinkedIn (2024) menunjukkan 65% Gen Z memilih pekerjaan dengan opsi hybrid atau remote. Mereka memanfaatkan teknologi kolaborasi digital untuk tetap produktif tanpa terikat ruang dan waktu.
Baca juga: Dampak Teknologi Digital terhadap Pola Hidup Masyarakat Modern
Kehidupan Generasi Z di era digital membentuk budaya baru yang mencakup komunikasi instan, pola konsumsi berbasis online, dan cara kerja fleksibel. Budaya ini bukan sekedar tren sesaat, melainkan fondasi yang akan terus mempengaruhi arah perkembangan masyarakat digital di masa depan.