Tangerang, 19 September 2025 – Deputi Bidang Usaha Kecil, Kementerian Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), Temmy Satya Permana, menegaskan bahwa transformasi ekonomi melalui hilirisasi komoditas nilam menjadi kunci dalam meningkatkan nilai tambah produk, membuka lapangan kerja baru, sekaligus mendorong daya saing Indonesia di pasar global.
“Hilirisasi bukan sekadar proses industri, melainkan strategi untuk meningkatkan nilai tambah produk sehingga mampu menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan daya saing,” ujar Temmy saat membuka kegiatan Pemanfaatan Teknologi Produksi Bagi Usaha Skala Kecil Komoditas Atsiri dan Business Matching Pembiayaan & Investasi UMKM Atsiri Program BISLAF secara virtual dari Kota Manado, Rabu (17/9/2025).
Baca juga: ALFI Convex 2025 Dorong Transformasi Logistik dengan Digitalisasi dan Sustainability
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian tahun 2025, Indonesia menjadi produsen utama minyak atsiri dunia, khususnya nilam. Komoditas ini menyumbang sekitar 54% dari total ekspor minyak atsiri Indonesia dengan nilai mencapai 141,32 juta dolar AS atau setara Rp 2,32 triliun. Lebih dari 200 ribu tenaga kerja terserap dalam sektor ini, mayoritas dari pelaku UMKM dan petani kecil.
Kementerian Pertanian juga mencatat bahwa ekspor nilam terus menunjukkan tren positif sejak 2019, dengan rata-rata pertumbuhan 0,88% per tahun hingga 2027. “Tren back to nature serta meningkatnya permintaan industri berbasis bahan alami mendorong pertumbuhan kebutuhan global,” jelas Temmy.
Sentra produksi nilam terbesar berada di Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Sulawesi. Namun sebagian besar produk masih dipasarkan dalam bentuk bahan mentah dengan nilai tambah rendah. Karena itu, menurut Temmy, hilirisasi harus diperkuat melalui riset, inovasi, dan akses pembiayaan.
Data Mei 2025 mencatat penyaluran kredit perbankan untuk UMKM baru mencapai Rp1.503 triliun atau 18,5% dari total kredit perbankan, jauh dari target 30%. Untuk itu, pemerintah menyiapkan dana Rp200 triliun di bank-bank Himbara agar UMKM lebih mudah mengakses pembiayaan. Khusus untuk sektor minyak atsiri, kebutuhan pendanaan awal diperkirakan mencapai Rp22,5 miliar guna peningkatan kapasitas produksi dan hilirisasi.
Baca juga: Wamen Helvi Moraza Tegaskan Peran Strategis UMKM Dalam Menyerap Tenaga Kerja
Melalui Workshop dan Business Matching BISLAF (Bisnis Layak Funding), para pelaku UMKM atsiri diberi kesempatan mengenal produk pembiayaan, menyusun proposal bisnis, hingga melakukan sesi business matching one-on-one dengan lembaga keuangan seperti BRI, BSI, BNI, dan Bank SulutGo.
Kegiatan ini diharapkan mampu menghasilkan langkah konkret dalam mempercepat hilirisasi minyak atsiri, meningkatkan pemanfaatan teknologi produksi, serta memperluas akses pembiayaan bagi UMKM. Dengan strategi ini, Indonesia bukan hanya menjadi pemasok bahan mentah, tetapi juga pemain utama dalam rantai pasok global produk turunan nilam.