Tangerang, 09 April 2025 – Pembangkit listrik rendah karbon berhasil melampaui 40% dari total pembangkitan listrik global pada tahun 2024. Pencapaian ini didorong oleh pertumbuhan pesat energi terbarukan, terutama tenaga surya, yang mencatatkan rekor baru. Namun, lonjakan permintaan listrik akibat gelombang panas turut memicu sedikit peningkatan pembangkitan listrik berbasis fosil, yang menyebabkan emisi sektor ketenagalistrikan mencapai level tertinggi sepanjang sejarah.
Analis Listrik dan Data Ember, Euan Graham, mengungkapkan bahwa kekhawatiran tentang keamanan energi yang diperburuk oleh perang dagang antara Amerika Serikat dan negara-negara mitra dagangnya, mempengaruhi permintaan listrik terbarukan. Menurutnya, tarif besar-besaran yang diberlakukan oleh Presiden AS, Donald Trump, telah memicu ketidakpastian di pasar energi dan ekuitas, sehingga negara-negara semakin berfokus pada keamanan dan ketahanan energi mereka. Hal ini menyebabkan peningkatan minat terhadap energi terbarukan, seperti angin dan tenaga surya.
Baca juga: Pemkab Penajam Paser Utara Dorong UMKM Bertransformasi Digital untuk Perluas Pasar
Dalam laporan tinjauan listrik global 2025 yang diterbitkan oleh Ember, tenaga surya tercatat sebagai penggerak utama transisi energi global. Pembangkitan dan kapasitas pemasangan tenaga surya pada 2024 mencatatkan rekor baru dengan laju pertumbuhan dua kali lipat dalam tiga tahun terakhir. Bahkan, dalam periode tersebut, tenaga surya menyumbang tambahan pembangkitan listrik lebih banyak dibandingkan dengan sumber energi lainnya.
Peningkatan permintaan listrik global pada 2024 melampaui pertumbuhan listrik bersih. Teknologi seperti kecerdasan buatan (AI), kendaraan listrik, pusat data, dan pompa panas menjadi faktor yang mendorong lonjakan permintaan tersebut. Selain itu, penggunaan pendingin udara yang meningkat selama gelombang panas juga menjadi penyebab utama dari kenaikan kecil pembangkitan listrik berbasis fosil. Meskipun demikian, pembangkit listrik dari semua sumber rendah karbon, termasuk energi terbarukan dan nuklir, berhasil melampaui 40% dari total pembangkitan listrik global pada 2024, pertama kalinya sejak 1940-an.
Baca juga: Tantangan dan Peluang Digitalisasi UMKM di Bengkulu: Menembus Pasar Global
Tenaga air tetap menjadi sumber utama listrik rendah karbon dengan kontribusi 14,3%, diikuti oleh tenaga nuklir 9,0%. Namun, tenaga angin dan tenaga surya, yang masing-masing menyumbang 8,1% dan 6,9%, terus berkembang pesat, dan keduanya kini secara gabungan melampaui tenaga air pada 2024.
Graham menambahkan bahwa dua megatren yang akan mendominasi sistem kelistrikan global di sisa dekade ini adalah pertumbuhan pesat tenaga surya dalam bauran listrik dan permintaan listrik yang terus meningkat. Peningkatan pesat permintaan listrik, yang didorong oleh adopsi kendaraan listrik dan teknologi lainnya, menjadi faktor utama dalam pertumbuhan listrik bersih yang diperkirakan akan cukup cepat untuk mengimbanginya, meskipun permintaan listrik tumbuh sebesar 4,1% per tahun hingga 2030.
Selain itu, menurut Managing Director Ember, Phil MacDonald, tenaga surya yang dikombinasikan dengan penyimpanan baterai akan menjadi kekuatan yang tak terhentikan dalam memenuhi permintaan listrik dunia. Teknologi bersih, seperti tenaga surya dan angin, kini menjadi pendorong utama pembangunan ekonomi, bahkan saat permintaan listrik global terus meningkat.
Dengan pertumbuhan pesat energi terbarukan, terutama tenaga surya, dunia tampaknya semakin dekat untuk mengurangi ketergantungan pada pembangkitan listrik berbasis fosil, yang semakin mendekati akhir.