Daur Ulang Baterai dan Limbah Panel Surya, Kunci Sukses Transisi Energi Indonesia

Tangerang, 05 April 2025 – Indonesia terus berupaya mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada 2060 dengan mengimplementasikan berbagai langkah strategis dalam transisi energi, salah satunya melalui percepatan penggunaan kendaraan listrik dan pemanfaatan energi terbarukan, khususnya tenaga surya. Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Peraturan Presiden No.55/2019 yang kemudian direvisi melalui Peraturan Presiden No.79/2023 untuk mempercepat pertumbuhan kendaraan listrik, yang tercermin dari lonjakan penjualan mobil listrik yang melonjak hingga 684 persen pada Januari 2024 dibandingkan tahun sebelumnya.

Baca juga: Finlandia Tutup PLTU Batu Bara Terakhir, Beralih ke 100% Energi Terbarukan

Namun, meskipun kemajuan signifikan terlihat pada sektor kendaraan listrik, tantangan besar lainnya juga muncul, yaitu dalam sektor energi terbarukan, khususnya energi surya. Sumber energi surya diproyeksikan akan berkontribusi hingga 61 persen dari total sumber listrik pada 2060. Namun, kapasitas produksi panel surya dalam negeri saat ini baru mencapai 1.600 megawatt-peak (MWp) per tahun, jauh dari target yang ditetapkan, yaitu 300-400 gigawatt (GW). Untuk mencapai NZE, Indonesia perlu meningkatkan kapasitas produksi hingga 3.700 GW, yang memerlukan investasi besar dalam pengembangan infrastruktur.

Di sisi lain, teknologi hijau yang berkontribusi terhadap keberlanjutan juga menghadapi tantangan lingkungan, terutama terkait dengan pengelolaan limbah. Baterai kendaraan listrik, misalnya, memiliki masa pakai sekitar 10-15 tahun, dan memerlukan proses daur ulang yang tepat untuk mengekstrak logam berharga seperti kobalt, aluminium, mangan, dan lithium. Indonesia sendiri masih memiliki keterbatasan dalam industri daur ulang baterai ini. Pemerintah telah menunjuk PT Nasional Hijau Lestari (NHL) sebagai pengelola limbah baterai, dan telah menetapkan regulasi melalui Peraturan Pemerintah No.22/2021 yang mengatur pengelolaan limbah.

Baca juga: Pajak Digital: Solusi untuk UMKM atau Ancaman bagi Keberlanjutan Bisnis?

Sementara itu, pengelolaan limbah panel surya juga menjadi perhatian. Komponen solar panel, seperti kaca, aluminium, dan silikon, dapat mengandung bahan berbahaya seperti timah dan timbal yang berpotensi mencemari lingkungan jika tidak dikelola dengan benar. Perusahaan seperti SolaRUV mengungkapkan pentingnya pengelolaan limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) untuk mencegah pencemaran yang lebih lanjut. Saat ini, perusahaan tersebut bekerja sama dengan pihak ketiga untuk mengelola limbah panel surya yang sudah tidak terpakai.

Dalam konteks ini, industri daur ulang baterai kendaraan listrik di Indonesia masih dalam tahap awal. Beberapa perusahaan asing, seperti Tianneng Group dari China, telah menunjukkan minat untuk mendirikan fasilitas daur ulang baterai di Indonesia. Rencana ini diharapkan dapat mempercepat ekosistem energi hijau dan mendorong pertukaran ekonomi dan sosial antara Indonesia dan China.

Meski pengelolaan limbah masih menjadi tantangan besar, Indonesia terus bergerak maju dengan investasi dan regulasi yang mendukung energi hijau. Dengan upaya terus-menerus dalam pengelolaan limbah yang baik, Indonesia dapat menciptakan masa depan yang lebih berkelanjutan dan mengurangi dampak negatif dari transisi energi terbarukan.

Solusi dan Regulasi untuk Masa Depan Energi Hijau

Dengan adanya regulasi yang terus berkembang dan investasi dalam teknologi hijau, Indonesia memiliki potensi besar untuk mencapai NZE pada 2060. Namun, penting untuk terus memperhatikan pengelolaan limbah yang dihasilkan oleh teknologi hijau tersebut. Pengelolaan yang baik akan memastikan bahwa transisi energi tidak hanya berdampak positif pada pengurangan emisi, tetapi juga tidak menimbulkan kerusakan lebih lanjut pada lingkungan.

Latest articles

spot_imgspot_img

Related articles

spot_img