Tangerang, 17 Februari 2025 – Pemerintah Indonesia semakin gencar mendorong penerapan konsep green housing (perumahan ramah lingkungan) sebagai bagian dari upaya menurunkan emisi karbon di sektor properti. Komitmen ini sejalan dengan target penurunan emisi gas rumah kaca yang tercantum dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) hingga 29% pada 2030. Menurut laporan Climate Transparency, sektor konstruksi menjadi penyumbang besar emisi karbon, terutama akibat penggunaan bahan bakar untuk pembangunan, listrik, dan peralatan rumah tangga.
Baca juga: Jakarta dan Perjuangannya: Menjadi Kota Global Ramah Lingkungan
Pemerintah Indonesia tengah menggodok dokumen kedua NDC, yang dikenal dengan sebutan Second NDC (SNDC), sebagai pembaharuan dari komitmen sebelumnya. Fokus utama dari SNDC adalah sektor energi, industri, kehutanan, pertanian, dan limbah. Meski begitu, sektor properti, termasuk hunian residensial, masih belum dimasukkan dalam komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca, padahal sektor ini memberikan kontribusi signifikan terhadap peningkatan emisi karbon di perkotaan.
Pengembang properti kini dihadapkan pada tantangan untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Namun, meskipun konsep green housing sangat penting, penerapannya menghadapi hambatan terkait biaya konstruksi yang lebih tinggi, dengan estimasi kenaikan sekitar 3%-15% dibandingkan rumah biasa. Biaya tambahan ini terkait dengan penggunaan material ramah lingkungan, desain bangunan yang lebih efisien energi, serta fasilitas pengelolaan limbah dan air yang lebih baik.
Baca juga: Hunian Berbasis Hijau Menjadi Pilihan Utama Pembeli Properti
Pengembang properti besar seperti PT Infiniti Triniti Jaya yang mengembangkan perumahan Mulia Gading Kencana di Serang, Banten, telah berhasil meraih sertifikat Bangunan Gedung Hijau (BGH) dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Rumah subsidi yang dikembangkan di sana tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga menawarkan kenyamanan bagi penghuninya dengan desain yang memiliki sirkulasi udara yang baik serta pencahayaan alami yang cukup.
Namun, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Real Estat Indonesia (REI), Joko Suranto, menyoroti bahwa belum ada pedoman jelas mengenai standar green housing yang dapat diikuti oleh pengembang kecil yang fokus pada harga terjangkau. Oleh karena itu, ia mengusulkan agar pemerintah memberikan insentif, seperti pengurangan pajak dan subsidi teknologi hijau, guna mendorong penerapan konsep rumah ramah lingkungan di seluruh sektor properti.
Lebih lanjut, Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono, menyatakan bahwa ke depannya, pemerintah akan lebih mendorong penerapan green housing di perumahan subsidi. Pembangunan rumah yang ramah lingkungan dinilai tidak hanya mengurangi dampak pemanasan global, tetapi juga memberikan kenyamanan lebih bagi penghuninya, terutama dalam hal penghematan energi dan pengelolaan air yang lebih efisien.
Di sisi lain, pihak perbankan juga diharapkan untuk memberikan dukungan dalam bentuk pembiayaan hijau, yang memberikan bunga lebih rendah untuk kredit pemilikan rumah (KPR) hijau. Salah satunya adalah Bank Tabungan Negara (BTN), yang telah mulai memberikan pembiayaan untuk rumah rendah emisi dengan menggunakan material ramah lingkungan. Hal ini bertujuan untuk mengurangi jejak karbon di sektor perumahan, yang merupakan salah satu kontributor terbesar terhadap emisi rumah tangga di Indonesia.
Secara keseluruhan, upaya pemerintah untuk mendorong penerapan green housing di sektor properti semakin penting sebagai bagian dari komitmen Indonesia dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dan mencapai tujuan Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060. Penerapan konsep rumah ramah lingkungan ini diharapkan dapat menciptakan hunian yang nyaman, sehat, dan berkelanjutan bagi masyarakat, serta memberikan kontribusi positif terhadap pelestarian lingkungan.