Produksi Nikel Indonesia Dipangkas, Apa Dampaknya?

Tangerang, 27 Desember 2024 – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memberikan tanggapan terkait isu pemangkasan kuota produksi bijih nikel yang mencuat untuk tahun depan. Sebelumnya, laporan Bloomberg mengindikasikan bahwa Indonesia berencana memangkas produksi bijih nikel hingga 150 juta ton pada 2025, turun 44,85% dibandingkan 272 juta ton pada 2024.

Namun, Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Julian Ambassadurr Shiddiq, menyatakan belum ada arahan resmi terkait kebijakan tersebut. “Sampai sekarang belum ada arahan ataupun penetapan kebijakan pengurangan kuota bijih nikel dari Presiden atau Menteri ESDM,” jelas Julian, Minggu (26/12).

Baca juga: Omlek Berhasil Bangkit dengan Afiliasi, Omset 800 Juta Tercapai

Senada, Pelaksana Tugas Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral, Siti Sumilah Rita Susilawati, menyebut bahwa kebijakan tersebut masih dalam tahap evaluasi. Sementara itu, Dirjen Mineral dan Batu Bara ESDM, Tri Winarno, menegaskan belum ada pembahasan terkait pengurangan kapasitas produksi nikel.

Menurut Jerome Baudelet, CEO Eramet Indonesia, pemerintah berupaya menjaga harga bijih nikel tetap stabil di pasar global sekaligus melindungi penambang kecil lokal. Langkah ini juga sejalan dengan posisi Indonesia sebagai penguasa 45% cadangan nikel dunia. Ketua Indonesia Mining & Energy Forum (IMEF), Singgih Widagdo, menyarankan agar produksi disesuaikan dengan permintaan global untuk menghindari oversupply yang dapat menekan harga.

“Volume produksi semestinya seimbang dengan demand global. Oversupply justru akan menekan harga,” ujar Singgih. Ia juga mendorong Kementerian Perindustrian memperluas permintaan domestik melalui produk fabrikasi yang cenderung memiliki fluktuasi harga lebih rendah dibandingkan produk mentah.

Pemangkasan produksi bijih nikel berpotensi mengganggu operasional smelter yang semakin banyak di Indonesia. Saat ini, terdapat 188 smelter dalam tahap konstruksi dan produksi, dengan mayoritas menggunakan teknologi RKEF untuk menghasilkan Nickel Pig Iron (NPI) dan Ferronickel (FeNi).

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep), Bisman Bakhtiar, menyatakan bahwa Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mengurangi produksi karena kebutuhan pasokan bijih nikel untuk smelter. Hal ini juga diperparah dengan lonjakan impor bijih nikel dari Filipina, yang meningkat hingga 648,18% pada Juli 2024.

Baca juga: Strategi JNT Express Perkuat Bisnis UMKM Indonesia

Langkah pemangkasan produksi harus mempertimbangkan dampaknya terhadap stabilitas pasar, keberlanjutan investasi, dan lingkungan. “Perlu pengendalian secara berimbang dengan memperhatikan daya dukung lingkungan,” tegas Bisman.

Dengan cadangan nikel terbesar di dunia, Indonesia berada di posisi strategis untuk menjadi penentu harga global. Namun, kebijakan yang matang dan terintegrasi diperlukan agar industri nikel nasional tetap kompetitif sekaligus berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Latest articles

spot_imgspot_img

Related articles

spot_img