Tangerang, 26 Desember 2024 – Pemerintah Indonesia menyiapkan anggaran sebesar Rp 20 triliun untuk pembiayaan kredit investasi pada tahun 2025. Kredit ini akan difokuskan pada sektor-sektor industri padat karya, seperti pakaian jadi, tekstil, furnitur, kulit, alas kaki, mainan anak, serta makanan dan minuman. Skema ini bertujuan untuk mendorong pertumbuhan industri nasional dan menciptakan lapangan kerja baru.
Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto, menjelaskan bahwa pemerintah telah menyediakan anggaran subsidi bunga atau marjin yang cukup untuk mendukung penyaluran kredit investasi tersebut. “Proyeksi penyaluran skema kredit investasi ini ditargetkan mencapai Rp 20 triliun pada tahun 2025,” ujar Airlangga dalam keterangan resminya pada Rabu, 25 Desember 2024.
Baca juga: Cara Mudah Daur Ulang Minyak Jelantah dengan MyPertamina
Namun, kebijakan ini menuai kritik dari Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (Apsyfi). Ketua Umum Apsyfi, Redma Gita Wirawasta, menyebutkan bahwa meski pemerintah memberikan insentif besar, hal itu tidak akan menyelesaikan masalah utama yang dihadapi oleh industri tekstil dalam negeri. Menurutnya, masalah utama sektor tekstil adalah banjirnya produk impor yang merugikan industri lokal.
“Pemberian insentif apapun tidak akan berguna tanpa menyelesaikan masalah utama, yaitu impor yang terus membanjiri pasar dalam negeri,” ujar Redma kepada Tempo. Ia menambahkan bahwa yang diinginkan oleh asosiasi adalah perbaikan kebijakan, bukan sekadar insentif.
Redma juga menyoroti dampak negatif dari kebijakan relaksasi impor melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024. Kebijakan ini, menurutnya, membawa dampak yang signifikan bagi industri tekstil dalam negeri, terutama terkait dengan pakaian jadi yang lebih mudah masuk ke pasar Indonesia.
Tanpa perbaikan kebijakan yang konkret, Redma memperingatkan bahwa tren pemutusan hubungan kerja (PHK) dan penutupan pabrik akan terus terjadi pada tahun depan. “Jika pemerintah tidak serius mengendalikan impor dan menghentikan praktik importasi ilegal, dampaknya akan semakin parah,” jelasnya.
Baca juga: 70% Perusahaan Indonesia Mulai Digitalisasi Dokumen
Apsyfi juga melaporkan bahwa selama dua tahun terakhir, sekitar 60 perusahaan tekstil dalam negeri mengalami kesulitan. Sebanyak 34 perusahaan terpaksa tutup, sementara yang lainnya melakukan efisiensi dengan melakukan PHK, merumahkan tenaga kerja, atau merelokasi pabrik. Redma menegaskan bahwa masalah ini akan terus berlanjut jika pemerintah tidak segera mengambil tindakan tegas.
Pemerintah harus memperhatikan keseimbangan antara memberikan insentif kepada industri dan melindungi sektor dalam negeri dari tekanan produk impor. Jika kebijakan yang ada tidak diperbaiki, industri tekstil Indonesia mungkin akan terus menghadapi tantangan besar di tahun-tahun mendatang.