UMP Naik atau PPN Tinggi? Mana yang Bikin PHK Lebih Banyak?

Tangerang, 20 Desember 2024 – Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, memperingatkan bahwa rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025 dapat memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Menurut Bhima, kebijakan fiskal ini lebih berisiko dibandingkan dengan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) sebesar 6,5% yang juga akan berlaku pada tahun depan.

“PPN 12% ini memicu inflasi hingga 4,1%, sehingga ada kekhawatiran terjadinya PHK massal. Ini bukan karena kenaikan UMP 6,5%, tetapi lebih karena daya beli masyarakat yang tertekan akibat kebijakan fiskal pemerintah yang agresif,” ujar Bhima saat diwawancarai oleh Bisnis, Kamis (19/12).

Baca juga: Mau Usaha Aman? PNM Bantu Daftarkan Produk ke BPOM!

Studi yang dilakukan oleh Celios menunjukkan bahwa kenaikan UMP justru dapat berdampak positif pada ekonomi daerah. Bhima menyebut, dengan naiknya UMP, permintaan atau konsumsi masyarakat akan meningkat, sehingga menciptakan sekitar 775.000 lapangan kerja baru pada tahun 2025.

Namun demikian, pelaku usaha dinilai lebih khawatir terhadap dampak kenaikan PPN 12% dibandingkan kenaikan UMP. “Pengusaha seharusnya lebih takut PPN 12%, bukan UMP 6,5%,” tambah Bhima.

Menanggapi kekhawatiran tersebut, Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Indonesia (UI), Payaman Simanjuntak, menjelaskan bahwa kenaikan PPN menjadi 12% hanya akan berlaku untuk barang-barang mewah. Oleh karena itu, ia menilai pengusaha tidak perlu terlalu khawatir.

“Barang-barang mewah biasanya dikonsumsi oleh kelompok berpenghasilan tinggi, sehingga dampaknya terhadap pelaku usaha tidak signifikan. Permintaan barang mewah juga cenderung stabil,” jelas Payaman.

Ia juga menambahkan bahwa kenaikan UMP 6,5% telah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 (PP 51/2023) dan seharusnya sudah bisa diantisipasi oleh pengusaha. “Pengusaha perlu menerima keputusan ini dengan lapang dada dan melaksanakan penyesuaian secara bertahap, baik dalam sistem pengupahan maupun harga jual,” kata Payaman.

Meski demikian, Bhima tetap menggarisbawahi pentingnya kebijakan yang mendukung daya beli masyarakat. “Jika daya beli terus menurun, hal ini dapat memengaruhi kestabilan ekonomi dan membuka potensi PHK massal di berbagai sektor,” tuturnya.

Baca juga: 2025 Menjadi Momentum untuk Adaptasi Iklim dalam Dunia Keuangan

Dengan rencana penerapan kebijakan fiskal yang cukup agresif, para pelaku usaha diimbau untuk lebih berhati-hati dalam melakukan perencanaan bisnis di tahun mendatang. Perusahaan perlu mempertimbangkan dampak dari inflasi yang diprediksi akan meningkat akibat kenaikan tarif PPN menjadi 12%, serta melakukan penyesuaian yang tepat dalam strategi harga dan efisiensi operasional. Selain itu, pengusaha disarankan untuk memprioritaskan keberlanjutan hubungan kerja dengan karyawan guna menjaga stabilitas operasional dan kepercayaan pasar. Upaya antisipatif ini diharapkan dapat memitigasi potensi gejolak ekonomi yang mungkin muncul akibat kombinasi kenaikan PPN dan perubahan upah minimum di tahun depan.

Latest articles

spot_imgspot_img

Related articles

spot_img