Tangerang, 05 Desember 2024 – Digitalisasi kini menjadi salah satu langkah penting yang diambil oleh lembaga jasa keuangan untuk meningkatkan efisiensi bisnis dan memperbaiki kualitas pelayanan. Namun, bagi lembaga keuangan mikro (LKM) yang beroperasi di perdesaan, digitalisasi bukan tanpa tantangan. LKM yang berfungsi sebagai alternatif pembiayaan di desa seringkali menghadapi kesulitan dalam mengadaptasi teknologi yang berkembang pesat.
Burhan, Ketua Umum Asosiasi LKM/LKMS se-Indonesia (Aslindo), menjelaskan bahwa meskipun digitalisasi dapat mengurangi beban operasional dan mempercepat pelayanan, karakteristik masyarakat desa yang sebagian besar belum terbiasa dengan teknologi menjadi hambatan utama. “Banyak nasabah di desa, seperti ibu-ibu atau pekerja di lapangan, yang tidak dapat mengoperasikan ponsel atau tidak familiar dengan teknologi,” ujar Burhan dalam keterangannya, Kamis (28/11/2024).
Baca juga: Harga Mangga Agri Mania Tembus Rp40.000 per Kg, Ini Rahasianya
Di sisi lain, digitalisasi dianggap mampu memberikan solusi terhadap tingginya biaya operasional yang dialami LKM. Selama lima tahun terakhir, rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) di LKM konvensional selalu berada di atas 90%, bahkan pada 2023 mencapai 102,37%. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan pembiayaan yang rata-rata memiliki rasio BOPO sebesar 76,89%. Tingginya rasio BOPO ini menunjukkan ketidakefisienan dalam operasional LKM yang sebagian besar menyediakan kredit mikro dan ultra mikro.
Menurut Burhan, proses digitalisasi dalam bisnis LKM akan membantu menekan biaya operasional dan meningkatkan efisiensi. Namun, penerapan digitalisasi ini terhambat oleh kurangnya pemahaman terhadap manajemen operasional yang baik, serta kompetensi sumber daya manusia (SDM) yang terbatas. Banyak pengelola LKM yang belum memahami pentingnya rasio beban operasional, serta cara yang tepat untuk mengelola SDM dan biaya operasional lainnya.
Baca juga: Peluncuran Training of Trainers dan Literasi Keuangan untuk PMI
Selain itu, kondisi ekonomi di desa juga turut mempengaruhi kinerja LKM. Lesunya perdagangan skala mikro dan sulitnya penyaluran kredit memperburuk kondisi keuangan lembaga tersebut. Pada Agustus 2024, LKM konvensional tercatat mengalami kerugian sebesar Rp3,52 miliar, yang merupakan kelanjutan dari kerugian pada periode sebelumnya.
Burhan menyebutkan bahwa masalah ini belum dapat teratasi secara optimal. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya pemahaman tentang rasio beban operasional yang ideal dan belum adanya parameter yang jelas terkait biaya operasional dan investasi yang perlu dikeluarkan oleh LKM.
Dalam menghadapi era digital ini, penting bagi LKM untuk dapat beradaptasi dengan perkembangan teknologi, sambil tetap memperhatikan karakteristik dan kebutuhan masyarakat desa. Meskipun tantangan besar masih ada, digitalisasi berpotensi menjadi solusi untuk memperbaiki efisiensi operasional dan mempercepat pelayanan kepada masyarakat.