Tangerang, 18 Maret 2025 – Harga bioavtur atau bahan bakar penerbangan berkelanjutan (sustainable aviation fuel/SAF) diperkirakan akan mengalami penurunan seiring dengan peningkatan pasokan dari produsen di Asia yang melampaui permintaan di kawasan tersebut. Meskipun pasokan tinggi dapat membantu menurunkan harga, sejumlah tantangan masih menghadang rencana produksi dan adopsi bioavtur di Asia.
Sumber dari industri yang diwawancarai Reuters menyebutkan bahwa biaya produksi SAF yang tinggi dan permintaan yang lesu menjadi kendala utama bagi pengembangan lebih lanjut di Asia. Proyek-proyek SAF yang ada di kawasan ini, seperti yang telah dimulai atau dijadwalkan pada tahun 2025, berfokus pada ekspor ke pasar regional dan Eropa. Meski begitu, di Asia, mandat penggunaan bioavtur masih relatif rendah dibandingkan dengan Eropa, di mana penerbangan yang berangkat dari bandara Uni Eropa dan Inggris sudah diwajibkan untuk menggunakan minimal 2% bioavtur. Sementara itu, di Asia, beberapa negara baru akan memberlakukan regulasi terkait penggunaan SAF pada akhir dekade ini.
Baca juga: Strategi Digitalisasi UMKM Jadi Fokus Menteri Maman
Shukor Yusof, pendiri Endau Analytics, mengungkapkan bahwa maskapai penerbangan di Asia lebih fokus pada peningkatan jumlah penerbangan, dengan SAF yang masih dianggap mahal dan kurang mendesak. “SAF bukan prioritas utama, karena biayanya masih lebih tinggi dibandingkan bahan bakar konvensional, sehingga mengurangi profitabilitas maskapai,” kata Shukor.
Pada 2023, industri penerbangan tercatat menyumbang sekitar 2,5% dari total emisi karbon global. Bioavtur, yang terbuat dari minyak jelantah dan biomassa, dianggap sebagai solusi untuk mengurangi jejak karbon sektor penerbangan. Namun, biaya produksi yang lebih mahal dibandingkan bahan bakar fosil serta kontribusi SAF yang masih kecil terhadap total produksi bahan bakar menjadi hambatan utama dalam adopsi luas.
Baca juga: Go Digital, Telkom Bangun UMKM Modern dan Global
Proyeksi menunjukkan kapasitas produksi SAF di kawasan Asia-Pasifik akan meningkat menjadi 3,5 juta metrik ton per tahun pada 2025, dari 1,24 juta ton pada 2024. Namun, meski kapasitas tersebut meningkat, mandatori penggunaan SAF baru akan diterapkan di Singapura dan Thailand pada 2026, dengan target 1% SAF pada total konsumsi bahan bakar mereka. Hal ini diperkirakan akan meningkatkan permintaan SAF di kedua negara tersebut hingga sekitar 14% dari kapasitas produksi mereka pada tahun tersebut.
Di sisi lain, maskapai penerbangan di Asia mulai mengadopsi SAF secara sukarela, meski dalam jumlah terbatas. Beberapa maskapai seperti Cathay Pacific Airways dan Air New Zealand telah melaporkan penggunaan SAF yang terus meningkat. Meskipun demikian, masalah keterjangkauan dan ketersediaan bahan bakar terbarukan ini membuat banyak maskapai di Asia mengurangi target penggunaan SAF pada tahun-tahun mendatang.
Kendati demikian, penggunaan SAF di Asia diperkirakan akan berkembang seiring dengan peningkatan kesadaran lingkungan dan persyaratan mandat yang akan diberlakukan dalam beberapa tahun ke depan. Dengan dukungan kebijakan yang tepat dan peningkatan kapasitas produksi, bioavtur berpotensi menjadi bahan bakar utama untuk penerbangan yang lebih ramah lingkungan di kawasan ini.