Tangerang, 19 Agustus 2025 – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengambil langkah cepat merespons keresahan para pelaku industri penerima Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) yang belakangan terdampak pembatasan pasokan dari produsen gas. Untuk mengantisipasi dampak luas terhadap keberlangsungan industri manufaktur, Kemenperin resmi membentuk Pusat Krisis Industri Pengguna HGBT sebagai wadah pengaduan, konsultasi, serta advokasi kebijakan.
Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arief menegaskan, pembentukan pusat krisis ini bermula dari beredarnya surat produsen gas yang menyatakan adanya pembatasan pasokan hingga 48 persen kepada penerima HGBT. Menurutnya, kondisi ini janggal karena pasokan untuk harga normal—yakni di atas USD 15 per MMBTU—tetap stabil, sementara gas dengan harga USD 6,5 per MMBTU justru dibatasi.
Baca juga: Pesta Rakyat HUT RI 80 di Monas hadirkan 300 ribu porsi kuliner UMKM
“Ini menimbulkan dugaan bahwa pembatasan pasokan gas sengaja dilakukan untuk menaikkan harga. Padahal, tidak ada masalah teknis produksi maupun pasokan gas dari industri hulu nasional,” ujar Febri, Senin (18/8) di Jakarta.
Kemenperin menerima banyak laporan terkait penurunan tekanan gas, pasokan yang tersendat, serta biaya gas yang dibayar lebih tinggi daripada ketentuan Perpres Nomor 121 Tahun 2020. Situasi ini memaksa sejumlah industri melakukan rekayasa operasional, bahkan menghentikan lini produksi.
“Di lapangan, ada industri yang harus mematikan salah satu unit produksi, ada juga yang mengganti gas dengan solar. Akibatnya, biaya produksi melonjak signifikan. Bahkan, beberapa industri sudah menghentikan operasional dan berpotensi merumahkan pekerja,” jelas Febri.
Kondisi tersebut paling banyak dirasakan oleh industri keramik, gelas kaca, baja, dan oleokimia yang sangat bergantung pada harga gas kompetitif. Mengingat gas berperan vital baik sebagai energi maupun bahan baku, gangguan pasokan dapat menurunkan daya saing manufaktur nasional.
Febri memaparkan, Pusat Krisis Industri Pengguna HGBT dibentuk dengan tiga tujuan utama:
-
Menampung pengaduan industri secara langsung dan terstruktur.
-
Menggunakan laporan lapangan sebagai dasar kebijakan menghadapi krisis HGBT.
-
Menjadi wujud akuntabilitas publik Kemenperin dalam pembinaan industri.
Selain menerima aduan, Kemenperin juga akan menerjunkan tim ke lapangan bersama asosiasi industri untuk menghimpun data real-time, mengukur risiko, dan menyusun advokasi kebijakan kepada kementerian serta lembaga terkait.
Baca juga: Kemendag dan Kemenperin semarakkan HUT RI 80 dengan Karnaval Bersatu
Febri menegaskan, Kemenperin tidak akan tinggal diam menghadapi situasi ini. Perlindungan diberikan tidak hanya untuk menjaga kelangsungan usaha, tetapi juga melindungi lebih dari 130 ribu tenaga kerja di tujuh subsektor penerima manfaat HGBT, yakni pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, gelas kaca, dan sarung tangan karet.
“Crisis Center adalah bukti keberpihakan pemerintah pada industri. Kami ingin pelaku usaha merasa didampingi. Harga gas kompetitif harus benar-benar dirasakan agar industri bisa berproduksi optimal dan menyerap tenaga kerja lebih banyak,” pungkas Febri.